Mengetahui makna kalimat yang mulia ini merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar pada ‘aqidah seorang muslim. Bagaimana tidak, karena jika seseorang mengucapkan kalimat tauhid ini maka dia tidak akan bisa melaksanakan konsekuensinya sebelum mengetahui apa maknanya, dan dia juga tidak akan mendapatkan berbagai keutamaan kalimat ini sampai dia mengetahui apa maknanya, mengamalkannya dan meninggal di atasnya. Nabi Shallallahu alaihi wasallam menegaskan, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa sesungguhnya tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah maka akan masuk Surga”. (HR. Al-Bukhari)
Oleh karena itu, berikut penjelasan secara singkat mengenai makna kalimat tauhid yang mulia ini:
Laa Ilaaha Illallah adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu: Kata (laa), kata (ilaha), kata (illa) dan kata (Allah). Adapun secara bahasa bisa kita uraikan sebagai berikut:
— Laa adalah nafiyah lil jins (meniadakan keberadaan semua jenis kata benda yang datang setelahnya). Misalnya perkataan orang Arab: “Laa rojula fid dari” (tidak ada laki-laki dalam rumah) yaitu menafikan (meniadakan) semua jenis laki-laki di dalam rumah. Sehingga laa dalam kalimat tauhid ini bermakna penafian semua jenis sembahan yang haq dari siapa pun selain Allah Ta’ala.
— Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek), sehingga makna ilah adalah ma`luh. Ma`luh sendiri maknanya adalah ma’bud (yang diibadahi), karena aliha (kata kerja dari aliha) maknanya adalah ‘abada .
— Illa (kecuali). Kata pengecualian yang bertugas untuk mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas: ‘Laa rajula fid dari illa Muhammad’, yaitu Muhammad (sebagai kata setelah illa) dikeluarkan (dikecualikan) dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di dalam rumah, sehingga maknanya adalah tidak ada satu pun jenis lelaki di dalam rumah kecuali Muhammad. Jika diterapkan dalam kalimat tauhid ini makna maknanya adalah: Hanya Allah yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa sebelumnya.
— Lafazh ‘Allah’ berasal dari kata الإله Kemudian hamzahnya dihilangkan untuk mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua sehingga menjadi satu lam yang ditasydid, lalu lam yang kedua dibaca tebal. Ini adalah pendapat Al-Kisa`i, Al-Farra` dan juga pendapat As-Sibawaih.
Adapun maknanya, maka Al-Imam Ibnul Qoyyim berkata dalam Madarij As-Salikin (1/18): “Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan”.
Kemudian termasuk perkara yang penting diketahui dalam masalah ini adalah bahwa kata Laa membutuhkan isim dan khabar. Isimnya adalah kata ilaha, sedangkan khabarnya, maka di sinilah letak perselisihan manusia dalam penentuannya. Yang dipilih oleh seluruh ulama salaf adalah bahwa khabarnya dihilangkan. Karenanya kita terlebih dahulu harus menentukan khabarnya agar maknanya bisa dipahami dengan benar. Dan para ulama salaf bersepakat bahwa yang dihilangkan itu adalah kata haqqun atau bihaqqin (yang berhak disembah), dengan dalil firman Allah Ta’ala dalam surah Luqman ayat 30, “Yang demikian itu karena Allahlah yang hak (untuk disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Maka dari seluruh uraian di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa makna ‘laa ilaaha illallah’ adalah ‘laa ma’buda bihaqqin/haqqun illallah’ (tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah). Al-Wazir Abul Muzhoffar berkata dalam Al-Ifshoh, “Lafazh “Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka tidak ada (seorang pun) selain-Nya yang berhak mendapatkannya”. Dan beliau juga berkata, “Dan termasuk faedah dari hal ini adalah hendaknya kamu mengetahui bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada thaghut (semua yang disembah selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah. Maka tatkala engkau menafikan penyembahan dan menetapkan kewajiban penyembahan itu hanya kepada Allah, maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah”.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim:
Pertama: An-nafyu (peniadaan) yang terkandung dalam kalimat ‘laa ilaaha’. Yaitu menafikan, menolak dan meniadakan seluruh sembahan yang haq selain Allah, apapun jenis dan bentuknya, baik yang masih hidup apalagi yang sudah mati, baik dari kalangan malaikat yang terdekat dengan Allah maupun Rasul yang terutus, terlebih lagi makhluk yang derajatnya di bawah keduanya.
Kedua: Al-itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat ‘Illallah’. Yaitu menetapkan seluruh ibadah hanya milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Baik yang zhahir seperti sholat, zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal, harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain. Baik berupa ucapan seperti dzikir, membaca Al-Qur’an, berdoa dan sebagainya maupun perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain.
Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya tidak terlaksana. Misalnya ada orang yang hanya meyakini Allah itu berhak disembah (hanya menetapkan) tetapi juga menyembah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah (tidak menafikan). Berikut penyebutan beberapa ayat Al-Qur`an yang menerangkan dua rukun laa ilaha illallah ini, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (QS. An-Nisa`: 36)
Makna inilah yang dipahami oleh para sahabat dan para ulama setelah mereka sampai akhir zaman. Bahkan makna inilah yang dipahami oleh kaum musyrikin Quraisy semacam Abu Jahl, Abu Lahab dan selainnya. Sebagaimana yang diungkap oleh Allah Ta’ala pencipta mereka, “Sesungguhnya mereka apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” maka mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami hanya karena seorang penyair gila?”. (QS. Ash-Shoffat : 35-36)
Mereka juga berkata, “Mengapa ia menjadikan sembahan-sembahan itu sembahan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan”. (QS. Shod : 5)
Maka lihatlah -semoga Allah merahmatimu- bagaimana jawaban kaum musyrikin tatkala diperintah mengucapkan kalimat tauhid, spontan mereka menolak seruan tersebut. Mereka menolak bukan karena jahil dan bodoh tentangnya, akan tetapi justru karena mereka sangat mengetahui apa makna dan konsekwensi kalimat ini yaitu harusnya meninggalkan semua sembahan mereka dan menjadikannya hanya satu sembahan yaitu hanya Allah Ta’ala. Maka betapa celakanya seseorang yang mengaku muslim, akan tetapi Abu Jahl lebih tahu dan lebih faham tentang makna laa Ilaha illallah daripada dirinya. Wallahul musta’an.
{Lihat : Fathul Majid hal. 52-54 dan Kifayatul Mustazid bisyarhi Kitabit Tauhid Bab. Tafsirut Tauhid karya Syaikh Shaleh Alu Asy-Syaikh}
Jumat, 04 Februari 2011
Makna Kalimat Tauhid Laa Ilaha Illallah
Posted by ukhti nita
21.02, under islami_aqidah | No comments
0 komentar:
Posting Komentar